Ketika Kehilangan Belahan Jiwa, Kapan Waktu yang Tepat untuk Move On?

Wida Kriswanti | 5 Oktober 2019 | 05:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Ketika belahan jiwa meninggalkan dunia lebih dulu, sering kali muncul banyak pertanyaan dalam benak pasangan yang ditinggalkan. Sampai kapan harus berduka? Atau kapan melanjutkan hidup atau move on?

Kehilangan pasangan karena kematian, berarti perpisahan untuk selama-lamanya yang tidak direncanakan atau bahkan mendadak. Terutama untuk mereka yang berada dalam usia muda atau produktif. Sungguh berbeda dengan perpisahan karena perceraian, terutama dari segi rasa yang tersisa.

“Karena dipersiapkan, banyak orang yang setelah bercerai merasa lega (walau tetap ada sedihnya). Sementara banyak kematian terjadi tiba-tiba. Jadi emosi dalam menghadapinya yang sering menonjol adalah sedih, kehilangan, kosong, atau bahkan hampa,” buka psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani atau yang akrab disapa Nina dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia.

Seseorang yang ditinggalkan wajar mengalami depresi. Namun menurut Nina, biasanya tidak lebih dari dua minggu. “Rentang waktu ini cukup untuk membuat seseorang yang ditinggalkan menerima kondisi atau keadaan, yaitu pasangannya memang sudah meninggal,” kata Nina. “Bisa lebih panjang, bila seseorang yang ditinggalkan ini masih tidak percaya atau tidak mau menerima. Kalau depresinya berkelanjutan, bantuan profesional bisa jadi dibutuhkan.”

Akan tetapi, menuntaskan masa depresi bukan berarti berarti berhenti merasa kehilangan. “Dengan berjalannya waktu, duka bisa jadi tersembuhkan, karena terisi hal-hal lain dalam hidup,” ujar Nina. “Move on-lah, walau belum benar-benar move on. Karena jika tidak (cepat move on), ia bisa jadi seseorang yang tidak efektif. Misalnya, ketika seharusnya mengurus anak, ia tidak fokus,” jelas Nina.

Lantas kapan waktunya untuk benar-benar move on, dalam arti menemukan pendamping baru? Nina tidak bisa menyebut pasti kapan karena “cepat move on” itu relatif. “Namun jika ingin cepat-cepat menemukan pengganti, coba usahakan setelah satu tahun. Alasannya, ada beberapa momen yang mungkin rentan membuat seseorang teringat masa-masa terpuruk. Misalnya, tanggal kematian pasangan. Hari itu di tahun depan, bisa jadi seseorang merasa sangat drop. Kurang fair buat pasangan baru kalau kita menunjukkan kesedihan di tanggal itu,” urai Nina.

Meredakan Duka Kehilangan

Nina menganjurkan, siapa pun yang kehilangan agar tidak berpura-pura tidak kehilangan. Hadapi saja dengan jujur dan jalani prosesnya sebaik mungkin.

- Menangislah bersama anggota keluarga lain. Boleh, kok menangis di depan anak. Ini justru menunjukkan, kita kehilangan.

- Dengan menangis, emosi sedih dan kehilangan dilepas dan akhirnya segera tergantikan dengan emosi lain yang lebih positif. Misalnya, menerima kondisi menyedihkan ini.

- Dengan terbuka memperlihatkan rasa kehilangan, pada dasarnya anak bisa belajar cara menghadapi kehilangan.

- Jika perlu, buatlah satu pojok rumah menjadi tempat menangis. Jika merasa sedih, menangislah di situ sampai selesai. Menunjukkan tempat itu bisa menjadi tempat untuk melepas kesedihan, anak bisa ikut melepaskan emosi sedih ini dengan aman.

- Boleh juga ditambahkan satu pojok bahagia di rumah. Saat merasa bahagia, pergilah ke pojok itu. Dengan cepat tempat itu akan memberi kita emosi bahagia.

- Cari benda yang mengingatkan terhadap pasangan yang meninggal. Jika rindu terhadapnya, peganglah atau peluklah benda itu. Ini bisa mengurangi stres ditinggal pasangan.

- Anak juga bisa diajak mencari benda yang mengingatkannya kepada orang tuanya yang meninggal, agar memudahkan mereka melepas rindu.

 

Penulis : Wida Kriswanti
Editor: Wida Kriswanti
Berita Terkait